Misi permanen Indonesia untuk PBB mengirim surat kepada Sekretaris
Jenderal PBB Antonio Guterres pada Mei 2020. Ia mengingatkan PBB, klaim
China di Laut China Selatan tidak memiliki dasar hukum internasional dan
sama saja mengangkangi Konvensi PBB 1982 tentang Hukum Negara di Laut
(UNCLOS). Indonesia dalam hal ini menegaskan, sengketa Laut China
Selatan harus diselesaikan sesuai dengan UNCLOS 1982.Berbeda dari
negara-negara penuntut lainnya, Tiongkok dan Indonesia tidak memiliki
sengketa wilayah mengenai Laut China Selatan. Tiongkok tidak pernah
mengklaim kedaulatan atas Kepulauan Natuna. Kedua negara memiliki klaim
yang tumpang tindih hanya pada zona ekonomi eksklusif saja.🚫 Namun, ada tiga alasan mengapa Indonesia memainkan trik semacam itu.🚤 Pertama, Indonesia menghadapi tekanan yang belum pernah
terjadi sebelumnya di bawah epidemi COVID-19 yang mengamuk. Pemotongan
anggaran pertahanan telah melemahkan kemampuan militer negara itu di
Laut China Selatan termasuk Kepulauan Natuna. Indonesia telah
mengumumkan akan memangkas anggaran pertahanannya tahun ini hampir
US$588 juta karena COVID-19. Ini akan mengurangi jumlah dan frekuensi
pelayaran, patroli, dan latihan militer angkatan laut Indonesia. Sistem
militer dan kepolisian Indonesia khawatir, negara tersebut akan
kehilangan kekuatan sebelumnya untuk melindungi hak-haknya di laut.Oleh
karena itu, sejak paruh kedua 2019, Indonesia tampaknya tetap fokus
pada masalah Laut China Selatan. Presiden Indonesia dan pejabat militer
tingkat tinggi telah berulang kali pergi ke Kepulauan Natuna untuk
menyatakan kedaulatannya. Kedua, Indonesia salah menilai
situasi ketika mencoba mengambil keuntungan dari kasus arbitrase di Laut
China Selatan yang diprakarsai oleh Filipina empat tahun lalu.
Indonesia mencoba menggunakan pernyataan agresif yang dibuat oleh
Sekretaris Negara AS Mike Pompeo tentang Laut China Selatan pada 13 Juli
untuk membenarkan putusan ilegal 2016 oleh Pengadilan Arbitrase
Permanen. Pun, untuk menyelesaikan perselisihan yang ada di sekitar
Kepulauan Natuna. Ketiga, Indonesia cenderung membuka
rintangan untuk menarik investasi asing ke Kepulauan Natuna. Pada
Januari, Presiden Indonesia Joko Widodo dan Menteri Luar Negeri Jepang
Toshimitsu Motegi memperkuat perjanjian investasi di bidang perikanan,
energi dan pariwisata di kepulauan Natuna, dan kemudian Indonesia
tampaknya memperkuat posisi aslinya di Laut China Selatan.
Sebagai
tanggapan, juru bicara Menteri Luar Negeri Tiongkok Hua Chunying
merespons catatan sekretaris jenderal PBB yang dikirim oleh misi
permanen Indonesia soal misi permanen Tiongkok untuk PBB. Isinya, soal
komunikasi posisi China di Laut China Selatan kepada sekretaris
jenderal. Usulan bahwa perselisihan laut harus diselesaikan sesuai
dengan UNCLOS sebenarnya tidak masuk akal. Salah satu masalahnya,
konvensi itu datang lebih lambat ketimbang klaim kedaulatan China.
Selain itu, beberapa negara tak ikut dalam penandatanganan UNCLOS.
Anehnya, mereka dengan konyol meminta orang lain untuk mematuhi
konvensi.
Sebaliknya, Filipina dan Vietnam, keduanya dengan
sengketa serius dengan China, tidak memihak AS pada masalah Laut China
Selatan.🚢🚣 selamat membaca...
kalo ada yang kurang kabarin yaa..
Misi permanen Indonesia untuk PBB mengirim surat kepada Sekretaris
Jenderal PBB Antonio Guterres pada Mei 2020. Ia mengingatkan PBB, klaim
China di Laut China Selatan tidak memiliki dasar hukum internasional dan
sama saja mengangkangi Konvensi PBB 1982 tentang Hukum Negara di Laut
(UNCLOS). Indonesia dalam hal ini menegaskan, sengketa Laut China
Selatan harus diselesaikan sesuai dengan UNCLOS 1982.
Berbeda dari
negara-negara penuntut lainnya, Tiongkok dan Indonesia tidak memiliki
sengketa wilayah mengenai Laut China Selatan. Tiongkok tidak pernah
mengklaim kedaulatan atas Kepulauan Natuna. Kedua negara memiliki klaim
yang tumpang tindih hanya pada zona ekonomi eksklusif saja.🚫
Namun, ada tiga alasan mengapa Indonesia memainkan trik semacam itu.🚤
Pertama, Indonesia menghadapi tekanan yang belum pernah
terjadi sebelumnya di bawah epidemi COVID-19 yang mengamuk. Pemotongan
anggaran pertahanan telah melemahkan kemampuan militer negara itu di
Laut China Selatan termasuk Kepulauan Natuna. Indonesia telah
mengumumkan akan memangkas anggaran pertahanannya tahun ini hampir
US$588 juta karena COVID-19. Ini akan mengurangi jumlah dan frekuensi
pelayaran, patroli, dan latihan militer angkatan laut Indonesia. Sistem
militer dan kepolisian Indonesia khawatir, negara tersebut akan
kehilangan kekuatan sebelumnya untuk melindungi hak-haknya di laut.
Oleh
karena itu, sejak paruh kedua 2019, Indonesia tampaknya tetap fokus
pada masalah Laut China Selatan. Presiden Indonesia dan pejabat militer
tingkat tinggi telah berulang kali pergi ke Kepulauan Natuna untuk
menyatakan kedaulatannya.
Kedua, Indonesia salah menilai
situasi ketika mencoba mengambil keuntungan dari kasus arbitrase di Laut
China Selatan yang diprakarsai oleh Filipina empat tahun lalu.
Indonesia mencoba menggunakan pernyataan agresif yang dibuat oleh
Sekretaris Negara AS Mike Pompeo tentang Laut China Selatan pada 13 Juli
untuk membenarkan putusan ilegal 2016 oleh Pengadilan Arbitrase
Permanen. Pun, untuk menyelesaikan perselisihan yang ada di sekitar
Kepulauan Natuna.
Ketiga, Indonesia cenderung membuka
rintangan untuk menarik investasi asing ke Kepulauan Natuna. Pada
Januari, Presiden Indonesia Joko Widodo dan Menteri Luar Negeri Jepang
Toshimitsu Motegi memperkuat perjanjian investasi di bidang perikanan,
energi dan pariwisata di kepulauan Natuna, dan kemudian Indonesia
tampaknya memperkuat posisi aslinya di Laut China Selatan.
Sebagai
tanggapan, juru bicara Menteri Luar Negeri Tiongkok Hua Chunying
merespons catatan sekretaris jenderal PBB yang dikirim oleh misi
permanen Indonesia soal misi permanen Tiongkok untuk PBB. Isinya, soal
komunikasi posisi China di Laut China Selatan kepada sekretaris
jenderal.
Usulan bahwa perselisihan laut harus diselesaikan sesuai
dengan UNCLOS sebenarnya tidak masuk akal. Salah satu masalahnya,
konvensi itu datang lebih lambat ketimbang klaim kedaulatan China.
Selain itu, beberapa negara tak ikut dalam penandatanganan UNCLOS.
Anehnya, mereka dengan konyol meminta orang lain untuk mematuhi
konvensi.
Sebaliknya, Filipina dan Vietnam, keduanya dengan
sengketa serius dengan China, tidak memihak AS pada masalah Laut China
Selatan.🚢🚣
selamat membaca...
kalo ada yang kurang kabarin yaa..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar